Tuesday, 22 May 2012

Al-Mizan Fi Tafsir Al-Qur'an

A. Biografi Ath-Thabathaba’I (1903-1981 M)
Sosok kita yang satu ini adalah seorang mufasir dan filsuf besar. Di antara karya qurani beliau yang paling berharga adalah Tafsir Al-Mizan, yang menjadi salah satu rujukan tafsir kontemporer paling populer. Kitab tafsir ini merupakan salah satu kitab paling komplit dari sisi metode dan muatan. Berikut biografi mufasir besar ini yang ditulis langsung oleh beliau pada awal-awal tahun 1341 Hijriah Syamsiah.
Nama lengkap beliau adalah Muhammad Husain Thaba’thabai, lahir di kota Tabriz pada tahun 1281 H di tengah-tengah keluarga pecinta ilmu. Pada usia lima tahun beliau ditinggal oleh ibunda tercintanya dan tiga tahun setelahnya beliau menjadi yatim piatu, karena ditinggal ayahnya. Mengingat keluarga beliau termasuk keluarga yang mampu, kondisi kehidupannya tetap berjalan dan dengan bantuan seorang wakil (pengasuh) beserta istrinya yang telah ditunjuk oleh ayahnya, beliau meneruskan roda kehidupan yang mesti dilakoni.

Tak lama setelah kepergian ayah, beliau dikirim ke sebuah madrasah dan akhirnya digembleng oleh seorang guru privat yang selalu datang ke rumahnya.
Dan begitulah, tanpa terasa enam tahun beliau mempelajari bahasa Persia dan pelajaran-pelajaran dasar. Pada waktu itu, pelajaran-pelajaan dasar belum memiliki program dan kurikulum khusus dan tetap. Dari tahun 1290-1296 H, pelajaran yang paling banyak diterimanya adalah Al-Quran, kitab Gulistan, Bustan Sa’di, Nishab, Akhlak Mushawar, Anwar Sahili, Tarikh Mu’jam dan Irsyadul Hisab.
Pada tahun 1297 H, beliau mulai memasuki pelajaran agama dan bahasa Arab. Hingga tahun 1304 H, beliau sibuk membaca teks-teks pelajaran. Dalam kurun waktu tujuh tahun inilah, beliau menamatkan kitab-kitab berikut ini: Amtsilah, Sharf Mir, Tashrif, ‘Awamil dalam Ilmu Nahwu, Anmudaj, Shamadiyah, Suyuthi, Jami dan Mugni tentang penjelasan kitab Muthawal, dalam Fiqih; Syarh Lum’ah, Makasib, dalam Ushul, kitab Ma’alim, Qawanin, Rasail, Kifayah, dalam ilmu Logika; Hasyiah dan Syarh Syamsiyah, dalam filsafat Kitab Syarh Isyarat, dalam teologi kitab Kasyful Murad.
Pada tahun 1304 beliau pergi ke Hauzah Najaf untuk meneruskan pelajaran. Di sana dia menghadiri pelajaran Marhum Ayatollah Syekh Muhammad Husain Isfahani. Sekitar 6 tahun pelajaran Ijtihad Ushul dan empat tahun pelajaran kharij Fiqih saya lewati. Begitu juga dia hadiri pelajaran kharij fiqih Marhum Ayatollah Naini selama delapan tahun dan sekali menamatkan pelajaran kharij fiqih beliau, serta sedikit hadir dalam pelajaran kharij fiqih Marhum Ayatollah Sayid Abul Hasan Isfahani.
Universalia tentang ilmu Rijal beliau terima dari Ayatollah Hujjat Kuh Kamari. Dalam filsafat dia juga mendapat taufik untuk belajar dari seorang filsuf besar saat itu, Sayid Husain Badkubi. Di bawah arahan beliau, dalam waktu enam tahun dia dapat menyelesaikan pelajaran seperti, Mandhumah Sabzawari, Asfar, Masyair Mullah Shadra, Syifa, Tamhid Ibn Turkah dan Akhlak Ibn Maskawaih.
Al-Marhum Ustadz Badkubi saking perhatiannya terhadap perkembangan intelektualitas Ath-Thabathaba’i, senantiasa menganjurkan kepadanya untuk mempelajari matematika guna memperkuat sistem pemikiran argumentatif dan untuk menguatkan analisa filosofis. Dalam rangka menjalankan petuah beliau akhirnya Ath-Thabathaba’i menghadiri pelajaran Sayid Abul Qasim Khansari, ahli matematika yang amat terkenal waktu itu dan beliau mulai mempelajari perhitungan argumentatif.
Pada tahun 1314 H, karena kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan, terpaksa Ath-Thabathaba’i kembali ke kampung halamannya, kota Tabriz. Sekitar 10 tahun beliau di sana. Tanpa basa basi lagi, masa ini merupakan masa yang sangat merugikan jiwa dan mental nya, karena untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan, beliau terpaksa terjun ke dunia pertanian dan meninggalkan tadris dan pemikiran ilmiah yang begitu saya gandrungi.
Pada tahun 1325 H. beliau mengesampingkan masalah kehidupan dan kampung halaman dan menuju Hauzah ilmiah Qom. Di kota inilah beliau kembali menggeluti pembahasan ilmiah dan hingga tahun 1341 H beliau meneruskan aktivitas ini. Kehidupan Ath-Thabathaba’i diwarnai dengan keyatiman, keterasingan, berpisah dari teman, kekurangan isi saku dan problem-problem lain. Alhasil beliau telah menghadapi pasang surutnya kehidupan, dan merasakan berbagai nuansa kehidupan. Akan tetapi Ath-Thabathaba’i selalu merasakan ada tangan gaib yang selalu menyelamatkannya dari gang buntu dan membawanya kepada cahaya hidayah.
Pada awal-awal pendidikan, beliau sibuk dengan pelajaran tata bahasa Arab, Nahwu dan Sharaf. beliau tidak memiliki keinginan yang besar untuk melanjutkan pelajaran seperti ini. Oleh karena itu, dengan minat yang minim, beliau selalu kesulitan dalam memahami pelajaran yang ia terima.
Kemudian pada akhirnya tanpa terasa, inayah Allah datang dan merubah segalanya. Ath-Thabathaba’i merasa tak kenal lelah dari awal belajar hingga akhir – yang kurang lebih memakan waktu 17 tahun-. beliau juga lupa akan indahnya dunia yang membuat belajar menjadi kurang nikmat dan bersemangat. beliau merasa cukup dengan hal yang sangat sederhana dalam makanan, pakaian dan atribut materi lainnya. Lebih dari itu, beliau curahkan semuanya untuk mutala’ah. Sering kali beliau belajar semalam suntuk hingga pajar menyingsing (khususnya pada musim panas) dan senantiasa membaca pelajaran yang akan dia pelajari esok harinya, dan jika ada masalah dengan segala cara dia tuntaskan sendiri.[1]
B. Karya-karya Ath-Thabathaba’i
Beberapa karya yang beliau tulis saat belajar di kota Najaf adalah Risalah dar Burhan, Risalah dar Mughalathoh, Risalah dar Tahlil, Risalah dar Tarkib, Risalah dar I’tibariyat.Sedang karya-karya saya sewaktu berada di kota Tabriz adalah sebagai berikut; Risalah dar Itsbate dzat, Risalah dar Asma’ wa Sifat, Risalah dar Af’al, Risalah dar Wasaith Khudo wa Insan, Risalah Insan qablaz Dunya, Risalah Insan Fi Dunya, Risalah dar Wilayat dan Risalah dar Nubuwa. Semua risalah-risalah ini berisikan dalil-dalil logis dan tekstual.
Sedangkan hasil karya beliau di kota suci Qom adalah Tafsir Mizan yang terbit dalam 20 jilid. Dalam kitab ini beliau berusaha menafsirkan Al-Quran dengan metode yang belum pernah digunakan oleh mufasir sebelumnya yaitu metode menafsirkan al-Quran dengan al-Quran, ayat dengan ayat-ayat yang lain. Karya lain beliau di kota ini adalah Usul Falsafah (Rawesy realisme), dalam buku ini beliau membahas dan membandingkan filsafat barat dan timur, kemudian Hasyiah Kifayatul Usul, Hasyiah terhadap kitab Mulla Shadra yang dicetak dalam 9 jilid. Risalah wilayah dan pemerintahan Islam. Di samping itu, dialog pada tahun 1338 H dengan Profesor Karben, orientalis dari Prancis. Risalah dar I’jaz, Ali wa falsafah Ilahiah, Syi’ah dar Islam, Quran dar Islam, Kumpulan makalah, tanya jawab, pembahasan ilmiah dan filosofis yang beragam, dan terakhir Sunan Nabi. {Era Al-Quran}.[2]
C. Penamaan Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an dan Motivasi Penulisannya
Nama Al-Mizan menurut al-Awsi, diberikan oleh al-Tabataba’i sendiri, karena di dalam kitab tafsirnya itu dikemukakan berbagai pandangan para mufassir, dan ia memberikan sikap kritis serta menimbang-nimbang pandangan mereka baik untuk diterima maupun ditolaknya. Meskipun tidak secara eksplisit memberikan nama ini, namun pernyataan al-Tabataba’i secara implisit memang mengarahkan pada penamaan al-Mizan tersebut.
Adapun motivasi yang mendorong al-Tabataba’i untuk menulis kitab tafsirnya, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, adalah karena keinginannya mengajarkan dan menafsirkan al-Quran yang mampu mengantisipasi gejolak rasionalitas pada masanya. Hanya saja, al-Tabataba’i penulisan kitab tafsirnya ini memerlukan sebuah proses yang sangat panjang, yang dimulai dari ceramah-ceramahnya yang disampaikannya kepada para mahasiswa di Universitas Qum, Iran. Atas desakan para mahasiswanya, al-Tabataba’I mengkodifikasikan jilid I pada tahun 1375 H. Tujuh belas tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1392 H, al-Tabataba’i berhasil menyusun keseluruhan kitab tafsirnya[3].
D. Sistematika Penulisan
Dalam kitab tafsirnya al-Mizan ini al-Tabataba’i mengikuti sistematika tartib mushafi, yaitu menyusun kitab tafsir berdasarkan susunan ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf al-Quran, yang dimulai dari Surah al-Fatihah hingga berakhir pada Surah al-Nas. Meski menempuh sistematika tartib mushafi, namun al-Tabataba’I dalam penafsirannya membagi-baginya ke dalam beberapa tema. Sehingga dalam menafsirkan al-Quran, al-Tabataba’i tidak melakukannya secara ayat per ayat, melainkan mengumpulkan beberapa ayat untuk kemudian baru diberikan penafsirannya. Dalam kaitan ini, al-Tabataba’i mengawalinya dengan tema penjelasan yang meliputi kajian mufradat, I’rab, balagah, kemudian tema kajian riwayat yang di dalamnya berisi pandangan berbagai riwayat yang disikapi al-Tabataba’i secara kritis, dilanjutkan kajian filsafat dan lain-lain.
E. Metode Penafsiran
Mengenai metode penafsiran al-Qur'an, al-Tabataba’i mengemukakan tiga cara yang bisa dilakukan untuk memahami al-Qur'an. Pertama, menafsirkan suatu ayat dengan bantuan data ilmiah dan non-ilmiah. Kedua, menafsirkan al-Qur'an dengan hadis-hadis Nabi yang diriwayatkan dari imam-imam suci. Ketiga, menafsirkan al-Qur'an dengan jalan memanfaatkan ayat-ayat lain yang berkaitan. Di sini hadis dijadikan sebagai tambahan. Metode tafsir seperti ini adalah metode Tahlili.[4]
Meski memberikan rumusan tentang cara-cara menafsirkan al-Qur'an seperti di atas, al-Tabataba’i tidak menganggap kesemua cara yang disebutkan tadi sebagai valid dan akurat. Cara yang pertama tidak boleh diikuti karena menurutnya, cara itu menggunakan pendapat pribadi. Cara yang kedua dianggapnya tidak cukup memadai bukan saja karena sangat terbatasnya jumlah hadis Nabi yang bisa dipertanggung-jawabkan validitasnya, namun hadis-hadis itu sendiri tidak cukup memenuhi kebutuhan untuk menjawab berbagai persoalan tentang al-Qur'an yang semakin berkembang. Menurut al-Tabataba’i hanya cara ketiga, yakni menafsirkan al-Qur'an dengan ayat-ayat lain yang berkaitan, yang bisa dipertanggung-jawabkan sebagai cara untuk menafsirkan al-Qur'an. Dalam pandangan al-Tabataba’i, menafsirkan al-Qur'an dengan al-Qur'an ini, tidak termasuk ke dalam penafsiran dengan ra’yu sebagaimana yang dilarang Nabi.
Menafsirkan al-Qur'an dengan cara mengaitkan satu ayat dengan ayat-ayat yang lain (yang kemudian dikenal penafsiran al-Qur'an dengan al-Qur'an ) yang oleh al-Tabataba’i dinilai sebagai cara penafsiran yang paling valid ini pada dasarnya merupakan hal yang umum di kalangan mufassir, meski dalam aplikasinya kemudian terjadi berbagai perbedaan.
F. Corak Penafsiran
Mengenai corak penafsiran Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an, ada yang berpendapat bahawa corak penafsirannya adalah Tafsir Falsafi. Karena di dalam tafsir tersebut banyak dikemukakan filsafat yang dijadikan salah satu penunjang dalam menafsirkan Al-Qur’an.[5]
Namun, bila dilihat dari segi kecenderungan madzhabnya, maka tafsir Al-Mizan termasuk Tafsir Syi’i. Karena Teologis Syiah banyak mempengaruhi Ath-Thabathaba’I dalam menafsirkan Al-Qur’an, walaupun beliau mengambil pendapat-pendapat Ahlu Sunnah Wal Jama’ah sebagai penunjang dalam menafsirkan Al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
http://uin-suka.info
http://www.facebook.com/topic.php?uid=2397544025&topic=8589
www.pustakaskripsi.com



[1] http://www.facebook.com/topic.php?uid=2397544025&topic=8589
[2] http://www.facebook.com/topic.php?uid=2397544025&topic=8589
[3] http://uin-suka.info
[4] www.pustakaskripsi.com
[5] www.pustakaskripsi.com

No comments:

Post a Comment

mau dapat penghasilan gratis? klik di bawah ini !

readbud - get paid to read and rate articles